Saturday, 21 August 2010
Saturday, 7 August 2010
Wednesday, 21 July 2010
RASAKANLAH, SEKELUMIT KALIMAT
rasa
BILA CINTA TAK SAMPAI
Sebuah Kesedihan & Catatan
Wahai!
Jika aku mencintai
Dan kau tak membalasnya
Maka aku tentu tersedu sangat merana
Wahai !
Aku menggaruk bilik
Aku marah mencabikcabik
Bila Cintaku Tak Sampai
♥ ♥ ♥
Wahai,
Apa kau pernah memikirkan CintaNYA?
sekarang aku menanya :
bila CintaNYA tak sampai
Apa pula kata kita?
♥ ♥ ♥
Sunday, 11 July 2010
Sunday, 4 July 2010
PEMBERITAHUAN, WORO-WORO ATAU ANCAMAN?
23 Juni 2010 jam 13:52
Pemberitahuan, woro-woro atau ancaman atau apalah namanya, sudah sering dikirim dari luar nagari kepada kita dalam bentuk apa saja, termasuk melalui film/movie.
Padahal, khasanah dongeng atau legenda juga banyak diangkat menjadi pelajaran buat kita. Misalnya, pertumbuhan Malin Kundang, setelah ayahnya pergi meninggalkan keluarga. Ibu yang merindu suami, anak yang merindu figur ayah. Tetapi tak diceritakan yang hakikinya adalah, akan tumbuh anak tanpa pendidikan dan perawatan ayah. Yang akhirnya menurut para ahli jiwa, anak ini, paling tidak, akan menjadi kacau hidupnya. (silakan bersukhuzon). Akankah menjadi anak yang calm atau yang brutal.
Saya pernah menonton film asing, yang bercerita, Ayah dan Ibu bercerai. Anaknya diurus oleh Ibunya yang singel parent itu. Jika sang Ibu pergi bekerja, anak-anak diurus oleh kakaknya yang besar. Para tetangga mulai memperhatikan dari rumahnya masing-masing.
Suatu hari, Sahabat sang Ibu, seorang wartawati, berkunjung dan menyempatkan diri memberi perhatian, mengurus anak-anak itu. Sore hari, anak dimandikan, diberi pakaian.
Tidak begitu sukar mengurus anak yang lebih besar, berumur 5 tahun. Selesai itu, dia mengambil tustel/camera sang Wartawati dengan iseng. Sang tante sibuk membujuk si Kecil yang masih telanjang, tak mau berpakaian. Karena bahagia ada si Tante wartawati, si kecil pun bermanja-manja. Sang tante sibuk membedaki, memeluknya agar tak lari-lari. Dan si Kakak yang asik memainkan tustel/camera, mulai asik memotret tanpa sengaja, apa saja dipotret, termasuk si tante yang memeluk si Kecil yang masih telanjang. Semua berjalan tanpa skenario.
Sorenya, sang Wartawati, menyempatkan diri ke toko foto dan mengeluarkan film dari tustel untuk dicuci cetak. Selang satu hari, sang Wartawati, datang lagi untk mengambil cetakan foto ke toko itu. Tetapi apa nyana? dengan segera beberapa orang Polisi Dinas Sosial menangkap sang Wartawati.
Selanjutnya, mulailah acara pengadilan dengan kasus, berdasarkan foto tak sengaja yang diambil oleh si Kakak saat sore itu, dianggap sang Wartawati melakukan tindakan kekerasan dan pemerkosaan terhadap anak balita. Dengan padat konflik, terakir, yang akan saya ceritakan adalah, Anak-anak yang tak berayah itu dianggap tidak mendapat perhatian dari Ibunya. Dinas Sosial, berkewajiban dan berhak mengambil anak-anak itu untuk dirawat oleh negara. Maka sang Ibu, terancam tak mempunyai anak lagi dan terusir dari lingkungan karena dianggap telah mencemarkan kebersihan lingkungan. Lingkungan berfungsi. Toko foto yang mengetahui isi foto, melapor ke yang berwenang, lingkungan rumah menguatkan keadaan yang mereka lihat hanya dari luar serta undang-undang yang berlaku di negara itu.
Dinas Sosial sangat berperan. Promosi gencar mengabarkan WHO I'M. Melihat titik-titik program kerjanya, memang sangat manusiawi dan mulia, Tetapi mengapa Sang Ibu tidak rela memberikan anak-anaknya kepada Dinas Sosial? Bukankah diasuh oleh negara, sangat menjanjikan kebaikan masa depan anak? Maka sang Ibu akan berpikir berkali-kali.
Ibu tentu akan berpisah dengan buah hatinya, kekasihnya. Dan bertanya, apakah pekerjaan Dinas Sosial itu sudah benar? Apakah di sana itu tak akan ada sifat kekerasan? Apakah tidak ada Penindasan, Pemerkosaan atau Pemusnahan?
Maka Ibu pun harus berjuang keras mencari cara untuk mem"bebas'kan anak-anaknya yang telah dirampok Dinas Sosial selain juga membebaskan sahabatnya yang terkena sial juga.
Pesan moral yang saya tangkap adalah, sebuah keluarga adalah sebuah kerajaan kecil yang berada di bawah naungan (kekuasaan) kerajaan yang lebih besar. Tentu saja, Kerajaan ini berada di bawah kerajaan yang lebih besar lagi.
Yang sangat menyuburkan "kecemburuan" saya lagi adalah, dalam kemiskinan ini anak kemenakan saya, banyak sekali disubsidi oleh teman-teman dekat saya, yang konon benda mensubsidi itu juga mereka minta ke sebuah badan lembaga yang lebih besar lagi, dan harrus dikembalikan dengan senyum dan bunga.
Menurut pengamatan saya, bukan sedikit, film senada yang sudah masuk dari negara-negara adidaya ke nagari kita ini dengan muatan penuh pesan, Pemberitahuan, Woro-woro atau Ancaman. Tapi saya tak mengetahui, apakah pesan halus ini tertangkap atau tidak oleh penonton yang berbangsa ini. Pesan halus akan tertangkap jika Perasaan selalu diasah dengan kehalusan. Antaranya dengan berkesenian. Sen Zu, Ahli strategi perang itu juga seniman. Dia mampu membaca situasi.
nani tandjung
pemonolog
bekasi, 23 Juni 2010
diskusi/komentar :
Hang Ws
Produk kebijaksanaan apakah mesti meninggalkan nurani yang tidak harus disandingkan dengan logika, titik temu antara nurani dan logika perlu disikapi dengan landasan moral kemanusiaan.
Ketidak berdayaan masyarakat entah di negara manapun bisa menjadi muatan politik dan untuk kepentingan politik, yang hanya sebatas nilai statik untuk ditelikung menjadi sebuah kebijaksanaan bukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri tapi untuk kepentingan politik itu sendiri, singkat kata hanya alat atau kendaraan untuk mencapai tujuan politiknya.
Maka tidak heran kalao kebijaksanaan pemerintah kadang hanya fokus pada logika dan meninggalkan nurani.
Lantas bagaimana untuk menyeimbangkan itu semua ? hanya sikap pribadi pada manusianya itu sendiri sebab kita tidak bisa berharap dari kebijaksanaan politik sebab politik pada hakekatnya bertalian erat dengan materi. percaya atau tidak ?
Lintang Sugianto Full
Barangkali, pemikiran saya salah. Tetapi, seringkali saya benarkan sendiri. Bahwa, saya merasa hidup di bumi yang salah! Apakah benar masih berarti sebuah arti kemanusiaan buat kita. Apakah benar masih bermakna moral, norma, dan KEPEDULIAN itu? Lalu, mengapa kita hanya seringkali bungkam? Dinas Sosial is dinas sosial yang hanya peduli kepada instansi sosial itu sendiri. KEBIJAKAN hanya keluar di AREA kekuasaan yang berkuasa, setelah keluar dari pagar kekuasaan itu, maka yang terjadi ialah KEPENTINGAN-KEPENTINGAN. Sehingga, yang benar-benar memerlukan hanya mendapat AMPAS belaka. Bunda, thanks tulisan ini sangat inspiratif
Nani Tandjung Full
nah, jika anak itu akan diasuh negara KARENA IBUNYA atau ORANGTUANYA/ PEMERINTAHNYA DIANGGAP TIDAK BERTANGGUNG JAWAB, BESAR KEMUNGKINAN NEGARA INI AKAN DIAMBIL OLEH NEGARA YANG MERASA MENJADI DEPARTEMEN SOSIAL! Buktinya, banyak LSM yang mendapat dukungan dari "departemen sosial" dunia u, waktu 1998, di gedung mpr/dpr itu, para aktifis dan para
mahasiswa sangat ketergantungan pada wartawan asing yang akan "MENGADU" ke pengadilan dunia, jika terjadi penganiayan dari "orangtua" kepada "anak2nya"
dan kita sering menghibur diri bahwa dana yang dipakai untuk kegiatan yang datangnya dari "departemen sosial" itu adalah dana kita sendiri. Dan mereka yang mengelolanya? dengan artian, kita tak mampu mengelolakah?
Padahal, khasanah dongeng atau legenda juga banyak diangkat menjadi pelajaran buat kita. Misalnya, pertumbuhan Malin Kundang, setelah ayahnya pergi meninggalkan keluarga. Ibu yang merindu suami, anak yang merindu figur ayah. Tetapi tak diceritakan yang hakikinya adalah, akan tumbuh anak tanpa pendidikan dan perawatan ayah. Yang akhirnya menurut para ahli jiwa, anak ini, paling tidak, akan menjadi kacau hidupnya. (silakan bersukhuzon). Akankah menjadi anak yang calm atau yang brutal.
Saya pernah menonton film asing, yang bercerita, Ayah dan Ibu bercerai. Anaknya diurus oleh Ibunya yang singel parent itu. Jika sang Ibu pergi bekerja, anak-anak diurus oleh kakaknya yang besar. Para tetangga mulai memperhatikan dari rumahnya masing-masing.
Suatu hari, Sahabat sang Ibu, seorang wartawati, berkunjung dan menyempatkan diri memberi perhatian, mengurus anak-anak itu. Sore hari, anak dimandikan, diberi pakaian.
Tidak begitu sukar mengurus anak yang lebih besar, berumur 5 tahun. Selesai itu, dia mengambil tustel/camera sang Wartawati dengan iseng. Sang tante sibuk membujuk si Kecil yang masih telanjang, tak mau berpakaian. Karena bahagia ada si Tante wartawati, si kecil pun bermanja-manja. Sang tante sibuk membedaki, memeluknya agar tak lari-lari. Dan si Kakak yang asik memainkan tustel/camera, mulai asik memotret tanpa sengaja, apa saja dipotret, termasuk si tante yang memeluk si Kecil yang masih telanjang. Semua berjalan tanpa skenario.
Sorenya, sang Wartawati, menyempatkan diri ke toko foto dan mengeluarkan film dari tustel untuk dicuci cetak. Selang satu hari, sang Wartawati, datang lagi untk mengambil cetakan foto ke toko itu. Tetapi apa nyana? dengan segera beberapa orang Polisi Dinas Sosial menangkap sang Wartawati.
Selanjutnya, mulailah acara pengadilan dengan kasus, berdasarkan foto tak sengaja yang diambil oleh si Kakak saat sore itu, dianggap sang Wartawati melakukan tindakan kekerasan dan pemerkosaan terhadap anak balita. Dengan padat konflik, terakir, yang akan saya ceritakan adalah, Anak-anak yang tak berayah itu dianggap tidak mendapat perhatian dari Ibunya. Dinas Sosial, berkewajiban dan berhak mengambil anak-anak itu untuk dirawat oleh negara. Maka sang Ibu, terancam tak mempunyai anak lagi dan terusir dari lingkungan karena dianggap telah mencemarkan kebersihan lingkungan. Lingkungan berfungsi. Toko foto yang mengetahui isi foto, melapor ke yang berwenang, lingkungan rumah menguatkan keadaan yang mereka lihat hanya dari luar serta undang-undang yang berlaku di negara itu.
Dinas Sosial sangat berperan. Promosi gencar mengabarkan WHO I'M. Melihat titik-titik program kerjanya, memang sangat manusiawi dan mulia, Tetapi mengapa Sang Ibu tidak rela memberikan anak-anaknya kepada Dinas Sosial? Bukankah diasuh oleh negara, sangat menjanjikan kebaikan masa depan anak? Maka sang Ibu akan berpikir berkali-kali.
Ibu tentu akan berpisah dengan buah hatinya, kekasihnya. Dan bertanya, apakah pekerjaan Dinas Sosial itu sudah benar? Apakah di sana itu tak akan ada sifat kekerasan? Apakah tidak ada Penindasan, Pemerkosaan atau Pemusnahan?
Maka Ibu pun harus berjuang keras mencari cara untuk mem"bebas'kan anak-anaknya yang telah dirampok Dinas Sosial selain juga membebaskan sahabatnya yang terkena sial juga.
Pesan moral yang saya tangkap adalah, sebuah keluarga adalah sebuah kerajaan kecil yang berada di bawah naungan (kekuasaan) kerajaan yang lebih besar. Tentu saja, Kerajaan ini berada di bawah kerajaan yang lebih besar lagi.
Yang sangat menyuburkan "kecemburuan" saya lagi adalah, dalam kemiskinan ini anak kemenakan saya, banyak sekali disubsidi oleh teman-teman dekat saya, yang konon benda mensubsidi itu juga mereka minta ke sebuah badan lembaga yang lebih besar lagi, dan harrus dikembalikan dengan senyum dan bunga.
Menurut pengamatan saya, bukan sedikit, film senada yang sudah masuk dari negara-negara adidaya ke nagari kita ini dengan muatan penuh pesan, Pemberitahuan, Woro-woro atau Ancaman. Tapi saya tak mengetahui, apakah pesan halus ini tertangkap atau tidak oleh penonton yang berbangsa ini. Pesan halus akan tertangkap jika Perasaan selalu diasah dengan kehalusan. Antaranya dengan berkesenian. Sen Zu, Ahli strategi perang itu juga seniman. Dia mampu membaca situasi.
nani tandjung
pemonolog
bekasi, 23 Juni 2010
diskusi/komentar :
Hang Ws
Produk kebijaksanaan apakah mesti meninggalkan nurani yang tidak harus disandingkan dengan logika, titik temu antara nurani dan logika perlu disikapi dengan landasan moral kemanusiaan.
Ketidak berdayaan masyarakat entah di negara manapun bisa menjadi muatan politik dan untuk kepentingan politik, yang hanya sebatas nilai statik untuk ditelikung menjadi sebuah kebijaksanaan bukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri tapi untuk kepentingan politik itu sendiri, singkat kata hanya alat atau kendaraan untuk mencapai tujuan politiknya.
Maka tidak heran kalao kebijaksanaan pemerintah kadang hanya fokus pada logika dan meninggalkan nurani.
Lantas bagaimana untuk menyeimbangkan itu semua ? hanya sikap pribadi pada manusianya itu sendiri sebab kita tidak bisa berharap dari kebijaksanaan politik sebab politik pada hakekatnya bertalian erat dengan materi. percaya atau tidak ?
Lintang Sugianto Full
Barangkali, pemikiran saya salah. Tetapi, seringkali saya benarkan sendiri. Bahwa, saya merasa hidup di bumi yang salah! Apakah benar masih berarti sebuah arti kemanusiaan buat kita. Apakah benar masih bermakna moral, norma, dan KEPEDULIAN itu? Lalu, mengapa kita hanya seringkali bungkam? Dinas Sosial is dinas sosial yang hanya peduli kepada instansi sosial itu sendiri. KEBIJAKAN hanya keluar di AREA kekuasaan yang berkuasa, setelah keluar dari pagar kekuasaan itu, maka yang terjadi ialah KEPENTINGAN-KEPENTINGAN. Sehingga, yang benar-benar memerlukan hanya mendapat AMPAS belaka. Bunda, thanks tulisan ini sangat inspiratif
Nani Tandjung Full
nah, jika anak itu akan diasuh negara KARENA IBUNYA atau ORANGTUANYA/ PEMERINTAHNYA DIANGGAP TIDAK BERTANGGUNG JAWAB, BESAR KEMUNGKINAN NEGARA INI AKAN DIAMBIL OLEH NEGARA YANG MERASA MENJADI DEPARTEMEN SOSIAL! Buktinya, banyak LSM yang mendapat dukungan dari "departemen sosial" dunia u, waktu 1998, di gedung mpr/dpr itu, para aktifis dan para
mahasiswa sangat ketergantungan pada wartawan asing yang akan "MENGADU" ke pengadilan dunia, jika terjadi penganiayan dari "orangtua" kepada "anak2nya"
dan kita sering menghibur diri bahwa dana yang dipakai untuk kegiatan yang datangnya dari "departemen sosial" itu adalah dana kita sendiri. Dan mereka yang mengelolanya? dengan artian, kita tak mampu mengelolakah?
Mawan Sugiyanto
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. ****)
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. ****)
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. ****)
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. ****)
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. ****)
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. ****)
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. ****)
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. ****)
Alvi Ummamy
Urusan privat dianggap urusan publik, sementara urusan publik dianggap urusan privat..
Jadi mempertanyakan, sejauh apa sih arti "keluarga" yang utuh itu, bunda? Sejauh mana negara bisa menginfiltrasi dan memutuskan kebahagiaan macam apa yg layak buat warga negaranya?
Jadi mempertanyakan, sejauh apa sih arti "keluarga" yang utuh itu, bunda? Sejauh mana negara bisa menginfiltrasi dan memutuskan kebahagiaan macam apa yg layak buat warga negaranya?
Faradina Izdhihary
mbak, hiks, kebetulan kemarin aku baru saja nulis cerpen buat ikutan lomba nulis cerpen guru di Diknas, temanya jian persis. Ya Mbak aku pun ikut prihatin.
btw, sudahkah pemerintah kita memberikan arahan, bimbingan, dan bantuan apabila ada keluarga yg kurang mampu baik secara material maupun nonmaterial untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya? Apa hanya cukup langsung sang anak 'diselamatkan' tanpa mengulurkan tangan pada sang orang tua?
btw, sudahkah pemerintah kita memberikan arahan, bimbingan, dan bantuan apabila ada keluarga yg kurang mampu baik secara material maupun nonmaterial untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya? Apa hanya cukup langsung sang anak 'diselamatkan' tanpa mengulurkan tangan pada sang orang tua?
'Arrie De Marco'
hmmmm....Bunda semakin sakti aja:: saya 'cemburu'.... tiba2 saja saya ingin belajar membaca 'diri' kembali makasih dengan catatannya Bundaku sayang... salam hormat buat keluarga
Saut Poltak Tambunan
Renungan yang menarik. Kita jarang menyadari bahwa ada tangan lain yang juga punya hak hukum atas anak-anak dalam perkawinan. Fakir miskin kita belum terpikirkan oleh negara. Mungkin yang lebih dekat dengan lingkungan kita adalah, anak-anak dari suami isteri yang berpisah. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab mengurus ini. Pengadilan yang memutuskan?
Abah Yoyok
Kemiskinan, penderitaan, dan entah apalagi namanya, seringkali dieksploitir dan dijadikan 'komoditas', sekedar untuk kepentingan membuat 'departemen sosial'. saya lebih suka kalau kita berbuat sesuatu walau kecil dan sedikit untuk mereka 'saudara-saudara' kita. Salam.
Friday, 2 July 2010
Nani Tandjung dari Teater Kail Jakarta di Roshberry Café Maknai 5 Tahun Tsunami Aceh melalui Kumpulan Puisi “Bila Cinta Tak Sampai”
Dunia sastra, teater, seniman, dan puisi pasti mengenal siapa Nani Tandjung. Seorang tokoh sastra, seniman, monolog, sekaligus pimpinan Teater Kail Jakarta. Adalah kemarin, Jumat 25 Desember 2009 pukul 20.00, Nani Tandjung, seorang sosok wanita tegar kelahiran Sibolga, 26 Agustus 1950 di Roshberry Café. Membacakan syair-syair dari kumpulan puisi karyanya berjudul “Bila Cinta Tak Sampai”.
Syair-syair Nani Tandjung tersebut bercerita tentang gempa yang melanda Aceh, Nias dan Sumatera Utara, lima tahun silam 26 Desember 2004. Kumpulan puisi yang terdiri atas 86 judul tersebut sengaja digarapnya sehari setelah bencana tsunami Aceh.
Acara yang disponsori Roshberry Donuts & Coffee itu dikemas dalam diskusi sastra, puisi, dan doa bersama mengenang peristiwa bencana alam terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sekitar satu jam, Nani Tandjung membacakan puisi karyanya di hadapan 40 hadirin, kemudian dilanjutkan dialog.
Sangat mengesankan. Pilihan bahasa lugas, tegas, membakar jiwa, dan menyentuh hati. Membangunkan jiwa para penikmat sastra di Jombang, seolah-olah terbawa pada kejadian sesungguhnya. Banyak pesan moral disampaikan, serta nilai-nilai filsafat ketuhanan. Dalam syair berjudul "Ekor Naga Itu Mengibas", disebutkan "Kemarin, Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.00, rupanya dua naga masih bertubrukan, Saling tindih menindih, Saling dorong mendorong penuh kekuatan......". Dalam penjelasan dan dialog, Nani Tandjung menjelaskan bahwa kejadian dasyat yang mengguncang Aceh tersebut, sebenarnya sebagai wujud kecintaan Tuhan terhadap rakyat Aceh.
Nani Tandjung merupakan seorang seniman yang sangat peka terhadap persoalan masyarakat saat ini. Sehingga tema puisinya juga banyak mengangkat persoalan social masyarakat yang tak kunjung terselesaikan. Hatinya tersentuh, semangatnya membakar, mengingatkan kepada kekuasaan melalui berpuisi.
Diakhir acara, Nani Tandjung mengapresiasi kegiatan yang diusung Roshberry. Menurutnya, Roshberry café layak sebagai bagian dari café budaya. Beliau juga memberikan pesan moral untuk senantiasa menjaga budaya dan kearifan local. Nani Tandjung sangat mendukung, sebaiknya Roshberry Café menjadi katalisator lahirnya pemuda pelestari budaya local, melalui diskusi sastra dan budaya, sampai seni pertunjukan.
DKUDONUTS, Best Quality of Indonesia Donuts
Copy Paste : 03 Juli 2010 dari Blog Roshberry Donat Kampung Utami
Dunia sastra, teater, seniman, dan puisi pasti mengenal siapa Nani Tandjung. Seorang tokoh sastra, seniman, monolog, sekaligus pimpinan Teater Kail Jakarta. Adalah kemarin, Jumat 25 Desember 2009 pukul 20.00, Nani Tandjung, seorang sosok wanita tegar kelahiran Sibolga, 26 Agustus 1950 di Roshberry Café. Membacakan syair-syair dari kumpulan puisi karyanya berjudul “Bila Cinta Tak Sampai”. Syair-syair Nani Tandjung tersebut bercerita tentang gempa yang melanda Aceh, Nias dan Sumatera Utara,... [Read Post]
28 Dec 2009, 16:56
Subscribe to:
Posts (Atom)
Terkisah Nenek ingin menjenguk cucu. Nenek berdiri mananti bis antar kota yang liwat. Dari jauh Nenek sudah melihat bis yang dinanti. Nenek sudah mengacungkan tangan berharap bis berhenti. Dari jauhpun Supir telah melihat tanda itu, lalu dia menginjak rem, bis berhenti perlahan. Namun, bis masih berjalan meski pelan, dan berhenti agak jauh dari tempat Nenek berdiri. Terpaksa nenek berlari dengan kerentaannya, membawa 'gembolan' oleh-oleh buat cucu.
Sampai di pintu bis, Kondektur berteriak : "Tunggu, tunggu, nenek-nenek, ayo nek, cepat, loncat, hup hup hup!
Nenek berusaha melompat ke atas bis yang segera berjalan lagi dengan kencang sebelum nenek siap berdiri tegak untuk menuju bangku. Nenek : "Uh! Aku seperti seorang prajurit muda yang tangkas! Uh! Negeri ini keras sekali! Uh! Penuh! Uh! Tak ada yang memberi tempat duduk buat seorang wanita, yang tua, biarlah aku duduk di bawah, oh demi cinta pada cucunda...
Salam, jangan tidur! kita sudah lama terlena dalam dongeng!