puisi

puisi
puisi BILA CINTA TAK SAMPAI

Semoga Hari Bahagia Selalu


Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Wednesday 21 July 2010

RASAKANLAH, SEKELUMIT KALIMAT


rasa

BILA CINTA TAK SAMPAI

Sebuah Kesedihan & Catatan

Nani Tandjung


Wahai!

Jika aku mencintai

Dan kau tak membalasnya

Maka aku tentu tersedu sangat merana

Wahai !

Aku menggaruk bilik

Aku marah mencabikcabik

Bila Cintaku Tak Sampai

♥ ♥ ♥

Wahai,

Apa kau pernah memikirkan CintaNYA?

sekarang aku menanya :

bila CintaNYA tak sampai

Apa pula kata kita?

♥ ♥ ♥

Sunday 11 July 2010

dongeng nenek



Aku mendongeng :

Terkisah Nenek ingin menjenguk cucu. Nenek berdiri mananti bis antar kota yang liwat. Dari jauh Nenek sudah melihat bis yang dinanti. Nenek sudah mengacungkan tangan berharap bis berhenti. Dari jauhpun Supir telah melihat tanda itu, lalu dia menginjak rem, bis berhenti perlahan. Namun, bis masih berjalan meski pelan, dan berhenti agak jauh dari tempat Nenek berdiri. Terpaksa nenek berlari dengan kerentaannya, membawa 'gembolan' oleh-oleh buat cucu.

Sampai di pintu bis, Kondektur berteriak : "Tunggu, tunggu, nenek-nenek, ayo nek, cepat, loncat, hup hup hup!

Nenek berusaha melompat ke atas bis yang segera berjalan lagi dengan kencang sebelum nenek siap berdiri tegak untuk menuju bangku. Nenek : "Uh! Aku seperti seorang prajurit muda yang tangkas! Uh! Negeri ini keras sekali! Uh! Penuh! Uh! Tak ada yang memberi tempat duduk buat seorang wanita, yang tua, biarlah aku duduk di bawah, oh demi cinta pada cucunda...

Salam, jangan tidur! kita sudah lama terlena dalam dongeng!

Sunday 4 July 2010

PEMBERITAHUAN, WORO-WORO ATAU ANCAMAN?



Pemberitahuan, woro-woro atau ancaman atau apalah namanya, sudah sering dikirim dari luar nagari kepada kita dalam bentuk apa saja, termasuk melalui film/movie.

Padahal, khasanah dongeng atau legenda juga banyak diangkat menjadi pelajaran buat kita. Misalnya, pertumbuhan Malin Kundang, setelah ayahnya pergi meninggalkan keluarga. Ibu yang merindu suami, anak yang merindu figur ayah. Tetapi tak diceritakan yang hakikinya adalah, akan tumbuh anak tanpa pendidikan dan perawatan ayah. Yang akhirnya menurut para ahli jiwa, anak ini, paling tidak, akan menjadi kacau hidupnya. (silakan bersukhuzon). Akankah menjadi anak yang calm atau yang brutal.

Saya pernah menonton film asing, yang bercerita, Ayah dan Ibu bercerai. Anaknya diurus oleh Ibunya yang singel parent itu. Jika sang Ibu pergi bekerja, anak-anak diurus oleh kakaknya yang besar. Para tetangga mulai memperhatikan dari rumahnya masing-masing.

Suatu hari, Sahabat sang Ibu, seorang wartawati, berkunjung dan menyempatkan diri memberi perhatian, mengurus anak-anak itu. Sore hari, anak dimandikan, diberi pakaian.

Tidak begitu sukar mengurus anak yang lebih besar, berumur 5 tahun. Selesai itu, dia mengambil tustel/camera sang Wartawati dengan iseng. Sang tante sibuk membujuk si Kecil yang masih telanjang, tak mau berpakaian. Karena bahagia ada si Tante wartawati, si kecil pun bermanja-manja. Sang tante sibuk membedaki, memeluknya agar tak lari-lari. Dan si Kakak yang asik memainkan tustel/camera, mulai asik memotret tanpa sengaja, apa saja dipotret, termasuk si tante yang memeluk si Kecil yang masih telanjang. Semua berjalan tanpa skenario.

Sorenya, sang Wartawati, menyempatkan diri ke toko foto dan mengeluarkan film dari tustel untuk dicuci cetak. Selang satu hari, sang Wartawati, datang lagi untk mengambil cetakan foto ke toko itu. Tetapi apa nyana? dengan segera beberapa orang Polisi Dinas Sosial menangkap sang Wartawati.

Selanjutnya, mulailah acara pengadilan dengan kasus, berdasarkan foto tak sengaja yang diambil oleh si Kakak saat sore itu, dianggap sang Wartawati melakukan tindakan kekerasan dan pemerkosaan terhadap anak balita. Dengan padat konflik, terakir, yang akan saya ceritakan adalah, Anak-anak yang tak berayah itu dianggap tidak mendapat perhatian dari Ibunya. Dinas Sosial, berkewajiban dan berhak mengambil anak-anak itu untuk dirawat oleh negara. Maka sang Ibu, terancam tak mempunyai anak lagi dan terusir dari lingkungan karena dianggap telah mencemarkan kebersihan lingkungan. Lingkungan berfungsi. Toko foto yang mengetahui isi foto, melapor ke yang berwenang, lingkungan rumah menguatkan keadaan yang mereka lihat hanya dari luar serta undang-undang yang berlaku di negara itu.


menunjukkan kartu identitas

Dinas Sosial sangat berperan. Promosi gencar mengabarkan WHO I'M. Melihat titik-titik program kerjanya, memang sangat manusiawi dan mulia, Tetapi mengapa Sang Ibu tidak rela memberikan anak-anaknya kepada Dinas Sosial? Bukankah diasuh oleh negara, sangat menjanjikan kebaikan masa depan anak? Maka sang Ibu akan berpikir berkali-kali.

Ibu tentu akan berpisah dengan buah hatinya, kekasihnya. Dan bertanya, apakah pekerjaan Dinas Sosial itu sudah benar? Apakah di sana itu tak akan ada sifat kekerasan? Apakah tidak ada Penindasan, Pemerkosaan atau Pemusnahan?

Maka Ibu pun harus berjuang keras mencari cara untuk mem"bebas'kan anak-anaknya yang telah dirampok Dinas Sosial selain juga membebaskan sahabatnya yang terkena sial juga.


ancaman? departemen sosial?


Pesan moral yang saya tangkap adalah, sebuah keluarga adalah sebuah kerajaan kecil yang berada di bawah naungan (kekuasaan) kerajaan yang lebih besar. Tentu saja, Kerajaan ini berada di bawah kerajaan yang lebih besar lagi.

big brother? saudara tua?

Yang sangat menyuburkan "kecemburuan" saya lagi adalah, dalam kemiskinan ini anak kemenakan saya, banyak sekali disubsidi oleh teman-teman dekat saya, yang konon benda mensubsidi itu juga mereka minta ke sebuah badan lembaga yang lebih besar lagi, dan harrus dikembalikan dengan senyum dan bunga.

Menurut pengamatan saya, bukan sedikit, film senada yang sudah masuk dari negara-negara adidaya ke nagari kita ini dengan muatan penuh pesan, Pemberitahuan, Woro-woro atau Ancaman. Tapi saya tak mengetahui, apakah pesan halus ini tertangkap atau tidak oleh penonton yang berbangsa ini. Pesan halus akan tertangkap jika Perasaan selalu diasah dengan kehalusan. Antaranya dengan berkesenian. Sen Zu, Ahli strategi perang itu juga seniman. Dia mampu membaca situasi.


nani tandjung
pemonolog
bekasi, 23 Juni 2010

diskusi/komentar :


Hang Ws
Produk kebijaksanaan apakah mesti meninggalkan nurani yang tidak harus disandingkan dengan logika, titik temu antara nurani dan logika perlu disikapi dengan landasan moral kemanusiaan.
Ketidak berdayaan masyarakat entah di negara manapun bisa menjadi muatan politik dan untuk kepentingan politik, yang hanya sebatas nilai statik untuk ditelikung menjadi sebuah kebijaksanaan bukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri tapi untuk kepentingan politik itu sendiri, singkat kata hanya alat atau kendaraan untuk mencapai tujuan politiknya.
Maka tidak heran kalao kebijaksanaan pemerintah kadang hanya fokus pada logika dan meninggalkan nurani.
Lantas bagaimana untuk menyeimbangkan itu semua ? hanya sikap pribadi pada manusianya itu sendiri sebab kita tidak bisa berharap dari kebijaksanaan politik sebab politik pada hakekatnya bertalian erat dengan materi. percaya atau tidak ?

Lintang Sugianto Full
Barangkali, pemikiran saya salah. Tetapi, seringkali saya benarkan sendiri. Bahwa, saya merasa hidup di bumi yang salah! Apakah benar masih berarti sebuah arti kemanusiaan buat kita. Apakah benar masih bermakna moral, norma, dan KEPEDULIAN itu? Lalu, mengapa kita hanya seringkali bungkam? Dinas Sosial is dinas sosial yang hanya peduli kepada instansi sosial itu sendiri. KEBIJAKAN hanya keluar di AREA kekuasaan yang berkuasa, setelah keluar dari pagar kekuasaan itu, maka yang terjadi ialah KEPENTINGAN-KEPENTINGAN. Sehingga, yang benar-benar memerlukan hanya mendapat AMPAS belaka. Bunda, thanks tulisan ini sangat inspiratif

Nani Tandjung Full
nah, jika anak itu akan diasuh negara KARENA IBUNYA atau ORANGTUANYA/ PEMERINTAHNYA DIANGGAP TIDAK BERTANGGUNG JAWAB, BESAR KEMUNGKINAN NEGARA INI AKAN DIAMBIL OLEH NEGARA YANG MERASA MENJADI DEPARTEMEN SOSIAL! Buktinya, banyak LSM yang mendapat dukungan dari "departemen sosial" dunia u, waktu 1998, di gedung mpr/dpr itu, para aktifis dan para
mahasiswa sangat ketergantungan pada wartawan asing yang akan "MENGADU" ke pengadilan dunia, jika terjadi penganiayan dari "orangtua" kepada "anak2nya"
dan kita sering menghibur diri bahwa dana yang dipakai untuk kegiatan yang datangnya dari "departemen sosial" itu adalah dana kita sendiri. Dan mereka yang mengelolanya? dengan artian, kita tak mampu mengelolakah?




Mawan Sugiyanto
Mawan Sugiyanto
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. ****)
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. ****)
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. ****)
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. ****)

Alvi Ummamy
Alvi Ummamy
Urusan privat dianggap urusan publik, sementara urusan publik dianggap urusan privat..
Jadi mempertanyakan, sejauh apa sih arti "keluarga" yang utuh itu, bunda? Sejauh mana negara bisa menginfiltrasi dan memutuskan kebahagiaan macam apa yg layak buat warga negaranya?

Faradina Izdhihary
Faradina Izdhihary
mbak, hiks, kebetulan kemarin aku baru saja nulis cerpen buat ikutan lomba nulis cerpen guru di Diknas, temanya jian persis. Ya Mbak aku pun ikut prihatin.
btw, sudahkah pemerintah kita memberikan arahan, bimbingan, dan bantuan apabila ada keluarga yg kurang mampu baik secara material maupun nonmaterial untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya? Apa hanya cukup langsung sang anak 'diselamatkan' tanpa mengulurkan tangan pada sang orang tua?

'Arrie De Marco'
'Arrie De Marco'
hmmmm....Bunda semakin sakti aja:: saya 'cemburu'.... tiba2 saja saya ingin belajar membaca 'diri' kembali makasih dengan catatannya Bundaku sayang... salam hormat buat keluarga

Saut Poltak Tambunan
Saut Poltak Tambunan
Renungan yang menarik. Kita jarang menyadari bahwa ada tangan lain yang juga punya hak hukum atas anak-anak dalam perkawinan. Fakir miskin kita belum terpikirkan oleh negara. Mungkin yang lebih dekat dengan lingkungan kita adalah, anak-anak dari suami isteri yang berpisah. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab mengurus ini. Pengadilan yang memutuskan?

Abah Yoyok
Abah Yoyok
Kemiskinan, penderitaan, dan entah apalagi namanya, seringkali dieksploitir dan dijadikan 'komoditas', sekedar untuk kepentingan membuat 'departemen sosial'. saya lebih suka kalau kita berbuat sesuatu walau kecil dan sedikit untuk mereka 'saudara-saudara' kita. Salam.


Friday 2 July 2010

Nani Tandjung dari Teater Kail Jakarta di Roshberry Café Maknai 5 Tahun Tsunami Aceh melalui Kumpulan Puisi “Bila Cinta Tak Sampai



Dunia sastra, teater, seniman, dan puisi pasti mengenal siapa Nani Tandjung. Seorang tokoh sastra, seniman, monolog, sekaligus pimpinan Teater Kail Jakarta. Adalah kemarin, Jumat 25 Desember 2009 pukul 20.00, Nani Tandjung, seorang sosok wanita tegar kelahiran Sibolga, 26 Agustus 1950 di Roshberry Café. Membacakan syair-syair dari kumpulan puisi karyanya berjudul “Bila Cinta Tak Sampai”.

Syair-syair Nani Tandjung tersebut bercerita tentang gempa yang melanda Aceh, Nias dan Sumatera Utara, lima tahun silam 26 Desember 2004. Kumpulan puisi yang terdiri atas 86 judul tersebut sengaja digarapnya sehari setelah bencana tsunami Aceh.

Acara yang disponsori Roshberry Donuts & Coffee itu dikemas dalam diskusi sastra, puisi, dan doa bersama mengenang peristiwa bencana alam terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sekitar satu jam, Nani Tandjung membacakan puisi karyanya di hadapan 40 hadirin, kemudian dilanjutkan dialog.

Sangat mengesankan. Pilihan bahasa lugas, tegas, membakar jiwa, dan menyentuh hati. Membangunkan jiwa para penikmat sastra di Jombang, seolah-olah terbawa pada kejadian sesungguhnya. Banyak pesan moral disampaikan, serta nilai-nilai filsafat ketuhanan. Dalam syair berjudul "Ekor Naga Itu Mengibas", disebutkan "Kemarin, Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.00, rupanya dua naga masih bertubrukan, Saling tindih menindih, Saling dorong mendorong penuh kekuatan......". Dalam penjelasan dan dialog, Nani Tandjung menjelaskan bahwa kejadian dasyat yang mengguncang Aceh tersebut, sebenarnya sebagai wujud kecintaan Tuhan terhadap rakyat Aceh.

Nani Tandjung merupakan seorang seniman yang sangat peka terhadap persoalan masyarakat saat ini. Sehingga tema puisinya juga banyak mengangkat persoalan social masyarakat yang tak kunjung terselesaikan. Hatinya tersentuh, semangatnya membakar, mengingatkan kepada kekuasaan melalui berpuisi.

Diakhir acara, Nani Tandjung mengapresiasi kegiatan yang diusung Roshberry. Menurutnya, Roshberry café layak sebagai bagian dari café budaya. Beliau juga memberikan pesan moral untuk senantiasa menjaga budaya dan kearifan local. Nani Tandjung sangat mendukung, sebaiknya Roshberry Café menjadi katalisator lahirnya pemuda pelestari budaya local, melalui diskusi sastra dan budaya, sampai seni pertunjukan.



Copy Paste : 03 Juli 2010 dari Blog Roshberry Donat Kampung Utami

Dunia sastra, teater, seniman, dan puisi pasti mengenal siapa Nani Tandjung. Seorang tokoh sastra, seniman, monolog, sekaligus pimpinan Teater Kail Jakarta. Adalah kemarin, Jumat 25 Desember 2009 pukul 20.00, Nani Tandjung, seorang sosok wanita tegar kelahiran Sibolga, 26 Agustus 1950 di Roshberry Café. Membacakan syair-syair dari kumpulan puisi karyanya berjudul “Bila Cinta Tak Sampai”. Syair-syair Nani Tandjung tersebut bercerita tentang gempa yang melanda Aceh, Nias dan Sumatera Utara,... [Read Post]
28 Dec 2009, 16:56

PUISI dari kumpulan BILA CINTA TAK SAMPAI

Nani Tandjung: HERAN-HERAN


HERAN-HERAN

Waktu dulu di radio ada iklan tabib
Isinya dia bisa sembuhkan segala sakit
Dari mulut yang terasa pahit
Hingga lidah panjang yang tergigit
Atau tangan panjang yang terjepit


Antaranya lagi ada sakit heran-heran
Yang dengar iklan ini jadi heran
Apa itu sakit heran-heran
Mengherankan lagi si tabib juga heran
Kok bisanya dia asal sebut itu namanya heran-heran


Berikutnya saya dapat penyakit heran-heran
Karena kata orang saya sering keheranan
Tiap ada persoalan saya pasti heran
Bertanya kenapa begini dan begitu dengan heran
Sampai-sampai saya jadi ‘kabancian’


Pasalnya mengapa ada peristiwa berjalan
Yang tidak cocok dengan pelajaran
Yang saya dapatkan di sekolahan
Tentu saja saya jadi bawel dan penasaran
Terus bertanya dengan wajah dungu dan ketololan
Coba saja, masak ada orang ...
Sssttt!!!


Ah, saya takut terus terang
Ah, tak apalah sudah kepalang
Tapi jangan bilang-bilang
Sumpe lo!


Ah, sekarang perut saya murus-murus
Ada aktifis peduli kemanusiaan yang dibekuk mampus


Ah, sekarang kepala saya jadi pusing-pusing
Ingat ada aktifis peduli kemanusiaan yang ditempiling


Ah, sekarang jantung saya degub-degub
Ada aktifis kemanusiaan dimasukkan ruang tertutup


Kalau ada pengawal keadilan kena hukum?
Kalau ada pengawal hati nurani tak punya nurani?
Kalau ada pengawal kebaikan tak berbudi?



Waktu dulu di radio ada iklan tabib
Yang bisa sembuhkan segala sakit
Cukup ciumkan amoniak ke hidung adik
Kontan kau akan terjungkat terjingkat-jangkit
Setelah itu isi kepala segar dan baik


Itu iklan!
Belum tentu cocok dengan kalian
Tapi jangan coba heran
Nanti kena penyakit heran-heran!


Jakarta, 12 April 2005
Bekasi, 14 November 2009


jika diambil kesimpulan, bahwa sudah sejak jaman dahulu kala, sudah ada tersedia karakter-karakter yang membuat dinamisnya kehidupan ini, mengapa pula kita harus merasa HERAN-HERAN?




KELUHAN KAWAN


Mendung yang menyelimut wajah bumi
Memantul kelabu di wajah kami
Guratan yang nyata menandai
Betapa tua kami kini


Biar baju yang kami pakai masih trendi
Warna segar tergosok rapih
Tapi tak bisa tersembunyi
Nafas sengal-sengal berbuih-buih


Telah kami coba berlari cepat
Mencapai garis yang tepat
Sambil berbaris dengan rapat


Tapi kalah juga dengan yang menyeruak
Mereka terbang melayang atau merangkak
Bagai marabunta atau gagak
Mematikan! Skak mat!
Padahal kami sempat re format



Tapi kalau personnya tak satu yang dicegat
Lalu potong-potong masukkan ke laut sebrang Ambalat
Biar dimakan ikan cucut dan todak
Apa yang bisa didapat dari re format?


Antara kami ada sahabat
Menangis karena merasa terjerat
Dalam jaringan para akrobat
Ditelanjangi hingga kemaluannya terlihat
Hingga sempat berpikir walau agak telat
Mana lebih malu kalau tak punya alat


Begini salah begitu haram
Jadi wartawan, wartawan jahannam
Jadi seniman, seniman jahannam
Jadi pengacara, pengacara jahannam


Aku lihat ada tetes darah keluar dari mulutnya



Jakarta 13 April 2005
Bekasi, 14 November 2009


Salam,

dari : Bila Cinta Tak Sampai

Nani Tandjung
Bermain Sandiwara Terus


logo SUARA MERDEKA






Jum'at, 15 Juli 2005 PANTURA

Menikmati Puisi Melayu Nani Tandjung

NUANSA Melayu terasa dalam pembacaan puisi Nani Tandjung

di aula stasiun radio Sebayu FM Kota Tegal, Selasa malam (12/7).

Syair-syair dari kumpulan puisinya "Bila Cinta Tak Sampai" yang

dia sajikan bersama tim teater Kail dari Jakarta itu banyak

bercerita tentang bencana tsunami. Dia bersama Sutarno SK

dan Hendra Juniardi membawa penonton seolah-olah berada

di lokasi bencana itu.


Nuansa melayu itu tercermin dalam syair Nani Tandjung

yang bercerita banyak tentang gempa yang melanda Aceh, Nias

dan Sumatera Utara.

Di antaranya tersirat dalam puisi berjudul "Love Underasure",

"Talibun Tsunami" serta "Ekor Naga Itu Mengibas".


Dalam syair berjudul "Ekor Naga Itu Mengibas" ia sebutkan,

"Kemarin, Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.00,

rupanya dua naga masih bertubrukan, Saling tindih menindih,

Saling dorong mendorong penuh kekuatan......".

Penampilan Nani Tandjung ketika membawakan puisinya

bisa dikatakan mengesankan. Pilihan bahasa yang lugas

membuat penonton bisa menangkap pesan lebih cepat.


"Saya menciptakan puisi yang dapat diceritakan," papar dia

usai pementasan. Memang ketika dia membaca puisi,

penonton menangkap kesan seolah-olah Nani sedang bercerita.


Kumpulan puisi yang terdiri atas 86 judul tersebut, kata

Nani Tandjung, digarapnya sehari setelah bencana tsunami

melanda, dengan karya pertama "Love Underasure". Perempuan

yang lahir di Sibolga, 26 Agustus 1950 itu menggelar pembacaan

puisi dalam rangka tur keliling ke beberapa kota.


Tur itu dimulai sejak 5 Juli dan kota yang sudah dikunjungi

di antaranya Solo dan Yogyakarta. "Kunjungan kami jadwalkan

sampai September 2005 ke beberapa kota, antara lain Malang,

Surabaya, dan Jember.

Semantara itu kota lain arah barat yang disinggahi di antaranya

Bandung dan Rangkas Belitung," ujar dia.


Mengenai proses berkesenian, ibu empat anak itu mengaku

menggelutinya sejak masih duduk di bangku SD.

"Saya ikut kegiatan tari pada waktu SD, jadi saya merasa sudah

berkesenian sejak itu." Nani Tandjung yang lebih dikenal

sebagai pekerja teater itu juga mengaku pernah menjadi guru TK.

Namun aktivitas sebagai guru tersebut sudah ditinggalkan

karena dia ingin lebih eksis dalam kesenian.


Sebagai seniman, sosok ini peka terhadap kondisi masyarakat.

Karena itu, tema puisinya banyak mengangkat apa-apa

yang sedang dialami masyarakat, seperti narkoba dan

nami. Itu dia lakukan karena tersentuh dan ingin berbuat

sesuatu dengan cara yang dia kuasai, yakni berpuisi.

Selain itu, bagi dirinya media puisi adalah ajang pembentukan

budaya. Karena itu, dia merasa menyesal karena kini telah

terjadi pergeseran budaya.


Dia pun menuangkan perasaannya itu dalam "Hantu 1" yang

berbunyi "padahal kita semua hantu".(Siti Kholidah-52m)






Copy Paste : MADINA online

5 Tahun Gempa Stunami: Renungan “ Bila Cinta Tak Sampai” Print E-mail
Written by admin
(Jombang, MADINA): Dunia sastra, teater, seniman, dan puisi pasti mengenal siapa Nani Tandjung. Seorang tokoh sastra, seniman, monolog, sekaligus pimpinan Teater Kail Jakarta. Jumat, pekan lalu, Nani Tandjung, seorang sosok wanita tegar kelahiran Sibolga, 26 Agustus 1950 di Roshberry Café, Jombang, Jawa Timur. Membacakan syair-syair dari kumpulan puisi karyanya berjudul “Bila Cinta Tak Sampai”.

Syair-syair Nani Tandjung tersebut bercerita tentang gempa yang melanda Aceh, Nias dan Sumatera Utara, lima tahun silam 26 Desember 2004. Kumpulan puisi yang terdiri atas 86 judul tersebut sengaja digarapnya sehari setelah bencana tsunami Aceh.

Acara yang disponsori Roshberry Donuts & Coffee itu dikemas dalam diskusi sastra, puisi, dan doa bersama mengenang peristiwa bencana alam terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sekitar satu jam, Nani Tandjung membacakan puisi karyanya di hadapan para hadirin, kemudian dilanjutkan dialog.

Dengan komunikasi puisi yang intens itu lewat bahasa yang lugas dan tegas, tentulah membakar jiwa, dan sekaligus menyentuh hati. Di sisi lain, acara ini juga diharap dapat membangunkan jiwa para penikmat sastra di Jombang khususnya, dan umumnya di Indonesia, untuk terbawa pada kejadian sesungguhnya.

Banyak pesan moral disampaikan dan nilai-nilai filsafat rejius. Dalam syair berjudul "Ekor Naga Itu Mengibas", disebutkan: "Kemarin, Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.00, rupanya dua naga masih bertubrukan, Saling tindih menindih, Saling dorong mendorong penuh kekuatan......".

Dalam acara itu di sesi dialog, Nani Tandjung menjelaskan bahwa kejadian dasyat yang mengguncang Aceh tersebut, sebenarnya sebagai wujud kecintaan Tuhan terhadap rakyat Aceh.

Nani Tandjung merupakan seorang seniman yang sangat peka terhadap persoalan masyarakat saat ini. Sehingga tema puisinya juga banyak mengangkat persoalan social masyarakat yang tak kunjung terselesaikan. Hatinya tersentuh, semangatnya membakar, mengingatkan kepada kekuasaan melalui berpuisi.

Diakhir acara, Nani Tandjung mengapresiasi kegiatan yang diusung Roshberry. Menurutnya, Roshberry café layak sebagai bagian dari café budaya. Beliau juga memberikan pesan moral untuk senantiasa menjaga budaya dan kearifan local. Nani Tandjung sangat mendukung, sebaiknya Roshberry Café menjadi katalisator lahirnya pemuda pelestari budaya local, melaluidiskusi sastra dan budaya, sampai seni pertunjukan. (ros/kir)

Jombang 26 Desember 2009


KISI - KISI TEATER
(bahan pelajaranku)

OLEH : NANI TANDJUNG

Wajar kalau yang hadir di sebuah konser musik, adalah pemusik dan penikmat musik. Dan membludak. Wajar pula yang hadir di sebuah pentas teater adalah peteater dan penikmat teater. Sayangnya di teater, yang hadir hanya peteater, sedangkan penikmat teater yang asli yang mampu dan mau membayar mahal kenikmatannya, cuma ada di satu pentas grup teater saja.

Persaingan nyaris tak ada. Mengapa era ini hanya Koma yang dikerubuti Penonton, pencatut karcis diserbu pembeli, seperti Penonton bioskop era ‘60an? Ada apa dengan Teater Bengkel, mengapa tidak semenggairahkan seperti di tahun 70-80an yang dengan yakin menjual karcis dengan harga tinggi. Ada apa juga dengan grup Teater yang lain? Mengapa yang jumlahnya lebih banyak itu tidak punya Penonton setia. Mengapa Penonton suka mendului memprediksi teater yang sedang dipublikasikan akan pentas itu dengan cemooh dan langsung menjadi malas, padahal belum ditonton. Mengapa pula ada Penonton mencemooh seperti tidak puas seusai menonton persis seperti sehabis makan bakso yang kurang rasa. Ini bicara pertunjukan teater panggung. Teater! Live!

Terpancing tanya-jawab yang basi, apakah yang terjadi dengan seni teater itu, yang di sana ada Tontonan dan Penonton serta penghubung dari keduanya. Budi daya apa yang sedang berlangsung hingga jadi peristiwa yang menyulitkan? Apakah Tontonan yang dimasak seniman itu sudah tak sedap? Atau Penonton sedang sakit atau tak sehat, tidak berselera, hingga apa saja yang dikunyah sudah tak nikmat? Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk sama-sama bergairah?

Padahal para tokoh-tokoh teater yang merasa bertanggung jawab atas kehidupan seni teater di negeri ini terus bekerja keras. Dari yang mengadakan diskusi kecil hingga kongres tingkat nasional tak luput menyentuh tentang teater. Betapa pentingnya teater, betapa merananya teater dan sebagainya. Serta ada juga yang perlu membuat ikatan grup teater tingkat kota hingga tingkat nasional agar kesenian teater tidak mati! Mungkin untuk mengantisipasi . SOS. P3K

Ada yang bicara anggun, meyakinkan dengan pertanyaan; siapa bilang teater sudah mati? Atau, teater tidak butuh kamu, tapi kamu yang butuh teater. Atau, kamu bisa saja mati, tapi teater tidak akan pernah mati. Mati tidak, pingsan mungkin.

Buktinya, pernah di satu kelurahan di Kudus, usai menonton teater, para veteran teaterawan menggelegak gairah teaternya, bereuni sepakat untuk menghidupkan kembali grup teaternya meski tahu akan berjalan mengambang tak menapak bumi. Aneh lagi, di pinggiran Tuban, misalnya, grup teater yang baru terus saja berlahiran. Bisa dibayangkan, bayi-bayi teater ini lahir dengan kurus, kurang gizi, kepala besar, mata besar melotot tapi sayu memandang kepada kehidupan yang tak cerah dengan kaki yang kecil tak bisa melangkah. Tapi intinya, teater memang perlu. Teater memang bandel dan sombong. Teater memang hantu.


* Apresiasi Apa yang kurang dari kebandelan kesombongan teater itu? Hallo-hallo sudah, gembar-gembor dijalankan, woro-woro terus juga, apresiasi hingga provokasi tak henti-henti. Itu semua adalah usaha mensosialisasikan, mempublikasikan, memasyarakatkan teater. Dari kentongan yang dipukul-pukul keliling kota hingga poster lux dan siaran layanan masyarakat di televisi dilakukan. Apa yang kurang dari betapa perlunya teater itu dikenalkan di sekolah-sekolah, bahkan nomor-nomor latihan teater diberikan kepada para TKI/TKW tenaga kerja Indonesia, suster-suster perawat, orang tua siswa peserta Sipenmaru, ibu-ibu hamil bersiap melahirkan, pasien rumah sakit, agar setiap orang selalu siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan kehidupan masa depan.

Apa yang kurang dari kehantuan teater, yang selalu membayang-bayang meski sudah bersumpah tak mau lagi berteater!
Betapa menggairahkan teater itu bagi yang berteater. Bagi senimannya. (bahkan bagi Penontonnya, betapa bernilainya jika bisa pergi menonton teater! Betapa bernilainya teater itu. (itu kalau di luar negeri))


* Jualan Misal, katakanlah kita akan berjualan kue. Jika kue itu tidak dijajakan dengan suara keras gencar dan memuja-muji sang kue, mana ada orang yang tahu kita sedang berjualan? Akibatnya, kue tak laku, teronggok dan merugi. Besoknya buat lagi seperti itu dengan sisa modal yang ada, hingga rasa dan bentuk tidak lagi menggairahkan, buruknya lagi, besoknya terpaksa menjual kue basi. Terpuruklah si penjual kue itu. Tambah terpuruk, saat si pemasok modalpun menarik diri. Mungkin awalannya seperti itu.

Permisalan itu kita pakai di perteateran. Publikasi sudah dilaksanakan, tetapi masih dianggap tidak maksimal meluas dan menggebu-gebunya. Hingga hanya sedikit orang yang tahu, atau hanya sedikit orang yang tertarik untuk menonton. Ini sangat merugikan lahir batin buat sebuah perusahaan. Publikasi satu bagian sama pentingnya dengan bagian lain di perteateran. Celakalah jika bagian ini terabai, bagai duri tertanam dalam daging, bengkak, nyeri dan fatal. Maka amat mudah, sering kegagalan di perteateran ini mengkambinghitamkan bagian publikasi. Kronis!

Kemudian bagi yang pergi menonton, misalnya, usai menonton, Penonton puas. Tetapi esok harinya terbit di harian Minggu, teater yang mereka tonton itu ternyata dikecam amat sangat buruknya oleh Penonton yang sepanjang malam memberungut menyesal menonton atau pura-pura memberungut. Akibatnya bisa saja, Penonton yang jujur itu mencurigai dirinya, memaki betapa bodohnya dia tadi, (nah, kini dia menjadi pintar). Bisa saja lebih banyak yang takut memaki si pengecam dari pada yang berani menolak, atau percuma meladeninya.

Selanjutnya, apakah suguhan teaternya tak indah, tak enak atau basi? Pertanyaan inipun sempat mempengaruhi calon-calon Penonton yang akhirnya menjadi betul-betul tak mau menonton teater. Khawatir Tontonannya tak enak dan basi. Makin sedikit orang yang berani menonton teater.

Konon pempublikasian dan pemuja-mujian sebuah teater bagi sebagian orang awam (Penonton) cukup membingungkan. Ini sudah terjadi terus menerus, tidak perlu dengan kata jika.

Atau kita akan mengatakan bahwa Penonton kita masih tetap awam, masih bodoh dan belum bisa pintar hanya untuk melakukan pekerjaan menonton saja? Atau apakah seniman si pemasak seni teaternya yang bodoh dan belum bisa pintar untuk merogoh sukma Penonton hingga tahu apa yang harus dihidangkan? Tapi inilah mungkin, yang nasibnya sama dengan si penjual kue yang kehabisan modal itu. Apapun kilahnya.

* Usaha Bangun Hantu teater itu terus membayang. Biar grup teater itu sudah bangkrut atau mati, masih juga ingin hidup. Maka diusahakan untuk hidup terus atau dihidup-hidupkan. Secara asal, besar kemungkinan jika si senimannya hidup makmur, maka grupnya makmur, kecil sekali hitungannya kemakmuran seniman datang dari kehidupan grupnya.

Bicara tentang usaha hidup bagi seniman yang bekerja di sawah seni teater, mungkin boleh juga mengandaikan, berteater sama dengan bertani sawah.

Petani padi berusaha menjualkan hasilnya dengan segala daya kreatifitas. Mengemas dalam kemasan bagus, diletakkan dalam etalase toko mahal, dipublikasikan dalam koran radio atau televisi dengan memakai Public Figur, hingga laku terjual, bahkan ke luar negeri. Mereka bersaing ketat. Daya jual beli dunia padi beras, masih terus berlangsung. Dan berkelas. Tinggal lagi, beras apakah yang akan dikonsumsi oleh Konsumen. Yang Mahal, Enak, Harum dan Halal? Atau Murah dan Sepanyol (separuh nyolong) atau Berkapang? Dengan menutup telinga, kita masih melihat petani ini bisa hidup dari kepetaniannya

* Kemasan Kini pertanyaannya adalah, sudahkah teater mengemas penawarannya yang bagaimana akan dibuat dan akan disantap oleh Penonton. Teater Realis, Absurd? Dari Ceritanya? Mini Kata atau Mini Gerak, Musik atau Non Musik? Tradisi atau Kontemporer? Komedi atau Tragedi? Menyanjung atau Memaki? Pakai Public Figur? di Gedung Teater Bergengsi atau di Lapangan Desa? Pentas Biasa atau Pentas Malam Amal? Yang Mahal, Memintarkan dan Menghibur? Atau Murah dan Seadanya? Ini usaha kan?


* Profesional Contoh lagi, kerja Ustadz, Pendeta atau Ulama Agama yang memberi kalimat-kalimat pelajaran kepada Ummatnya. Semula mereka kerjakan dengan ikhlas, amal ibadah, lalu jadi Profesi, bahkan dapat bayaran dari setiap Undangan Ceramah. Tentu berkelas juga. Mencapai kelasnya, mereka berusaha membumbui isi ceramah dan gayanya agar disukai dan diminati bahkan dikejar oleh fans. Tentu saja juga pasti ada yang Pro atau Kontra, ada yang Suka dan Tak Suka.

Nah, apakah seniman teater bisa dimiripkan dengan hal Ulama Agama ini dalam berkarya? Bolehkan bertanya? Bagaimanakah orang menggauli teater itu? Apakah berteater semata sebagai hobby, satu jalan bersenang-senang, piknik, membayar mahal untuk kesukaannya, berteater itu sebagai salah satu jalan berexpresi untuk sebuah upacara nurani, mengungkapkan perasaan atau sebagai profesi, lahan teater menjadi satu jalan mencari nafkah bahkan dibayar mahal untuk pekerjaannya. Tentukanlah. Yang penting, kekuatan kreatifitas!

* Sisipan Begitu menyatakan diri sebagai warga negara sebuah pemerintahan negara, maka akan ada kewajiban dan berhak. Wajib membayar pajak, sekecil apapun nilainya atau apapun bentuknya. Berhak mendapat layanan sekecil apapun nilainya. Pada saat yang sama pajak terkumpul untuk membiayai jalannya pemerintahan. Di dalamnya ada biaya pembangunan pendidikan termasuk pendidikan kesenian, kesehatan termasuk kesehatan jiwa mungkin gedung kesenian, ekonomi termasuk pasar tradisi, keamanan termasuk membayar gaji pegawai sipil atau militer, mengantisipasi kecelakaan fisik berupa gangguan penjahat misalnya, bencana alam, yang psykis misalnya hewan bersakitan, orang tegang, gila dan bermatian dsb.

Warga negara, berhak mendapat fasilitas dari situ. Selama memungkinkan, pemerintah akan membiayai fasilitas yang diperlukan. Jika tak mungkin terbiayai maka akan ada kerja sama dengan masyarakat yang disebut disubsidi, (terserah usaha pemerintah mencarikan dana subsidi ini). Jika pemerintah tak bisa juga membantu sedangkan fasilitas masih dibutuhkan, maka masyarakat dipersilakan dan diijinkan membangun dan menghidupi tambahan fasilitas dengan biaya swa-sta, (terserah usaha Lembaga Swa-daya Masyarakat mencarikan dana swa ini, sulit meminta kepada Ibu Kita Sendiri, boleh memohon juga kepada Ibu Kota Negara lain), tentunya dengan seleksi.

Ketika pemerintah melihat adanya peningkatan mutu dan keperluan masyarakat dari usaha LSM, bisa saja LSM itu tidak lagi LSM tetapi sudah menjadi urusan pembiayaan pemerintah. Selama kita percaya pada tata usaha pemerintah, maka kita patut bangga pada peningkatan kelas ini.

* Dilema Hingga saat ini, bursa teater masih membeku, dingin tak berdarah. Katakanlah juga, banyak masyarakat yang membutuhkan kesehatan jiwa berbentuk suplemen Tontonan/menonton teater. Tetapi untuk itu dalam bentuk yang lain, masyarakat Penonton merasa tidak mampu untuk membeli. Sudah banyak juga lsm teater yang mencoba ingin melayani keinginan masyarakatnya itu, tapi gagal berjualan (usaha) teaternya. Tidak klop, begitu. Apakah karena harga mahal barang kurang bagus, atau harga tidak bisa dimurahkan karena barang sangat bagus dan mahal modalnya. Tapi usaha mencapai kesepakatan masih terus dilanjutkan.

Nah, untuk melanjutkan perusahaan grupnya inilah, mereka harus terus dan masih saja mencoba untuk mendapatkan paling sedikit, subsidi dari pemerintah supaya bisa menjual murah dengan barang bagus. Sementara itu, untuk mendapatkan subsidi, grup itu harus menjadi Yang Terperlu, Terbaik dan Terpercaya bagi masyarakat. (ada tapi sangat sedikit anak keluarga miskin berhasil meraih cita-cita, bagaimana mungkin?). Nah, bukankah ini sangat melengkapi dilema?

Ujian yang sulit ini, hampir mengesalkan (melelahkan) banyak orang teater. Bingung menentukan predikat dirinya, apakah teater itu sudah profesi, atau masih sekedar hobby atau expresi. Keputusan pengakuan predikat ini mungkin juga bisa mendapatkan kepercayaan masyarakatnya. Bukankah gaji/honor/upah predikat kuli tukang batu sudah ditakarkan dengan standar UMR dan jelas kehidupannya?

Kembali bertanya untuk meyakinkan diri, sudahkah masyarakat Penonton teater kita seperti masyarakat yang membutuhkan beras, murah atau mahal, atau sesekali memesan semangkuk sup ayam atau segelas tinggi ramping jus mangga? Di jaman teknologi yang serba canggih ini, sudahkah atau masihkah seni teater itu diperlukan? Apakah betul ada dampak kebaikannya untuk kesehatan jiwa? Apakah cukup terpercaya sebagai pemintar atau penghibur? Sudahkah media teater menjadi kendaraan iklan yang baik dan menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan dagang sehingga kehidupan berjalan dengan lancar karena saling mendapat keuntungan?

Adilkah pemerintah memberikan subsidi pada grup teater atau seniman teater? Sebanyak apakah orang-orang teater itu? Bisakah pemerintah menambah nilai subsidinya? Apakah tidak mungkin yang nampak nantinya bahwa pelayanan bagi orang teater di kita hampir sama dengan pelayanan dari departemen sosial kepada penganggur di manca negara? Sampai akhir, yang ada hanyalah pertanyaan. Ternyata membuat pertanyaan tentang teater itu mudah, maka tak perlu ada honor, ketimbang persoalan ujian nasional atau ulangan umum.

Mungkin yang bisa diharapkan adalah usaha pemerintah untuk melakukan tindakan yang jeli membuat keseimbanganan bagi habitat kesenian, demi membantu dunia perteaterannya, atau bagaimana menurut anda?

(selamat ulang tahun teater kail, 7 desember 05)

Thursday 1 July 2010

Karena dialah...


Malam itu, sebuah Bis penuh penumpang berlari ngebut berlomba dengan Angin. Seluruh Penumpang berteriak ketakutan, mencaci maki Supir. Tetapi Supir semakin menggila. Seorang Ulama terlihat berdoa. Maka Penumpang satu-satu ikut sibuk berdoa.

Naas, Bis kalah, terpelanting masuk jurang bersamaan teriakan panjang menjerit.


Semua penumpang tersadar, mereka berada dalam kerangkeng panas. Di luar kerangkeng, nampak Supir sedang asik menikmati hiburan dan makan minum. Lewat Malaikat. Penumpang bertanya, mengapa mereka ada dalam kerangkeng sedangkan Supir berada di tempat yang menyenangkan.

Malaikat : Ya, karena dialah, kalian BARU INGAT AKAN ALLAH.

Tapi aku melihat juga, ada belenggu di kaki Supir.