rasa
BILA CINTA TAK SAMPAI
Sebuah Kesedihan & Catatan
BILA CINTA TAK SAMPAI
Sebuah Kesedihan & Catatan
Jum'at, 15 Juli 2005 PANTURAMenikmati Puisi Melayu Nani TandjungNUANSA Melayu terasa dalam pembacaan puisi Nani Tandjung di aula stasiun radio Sebayu FM Kota Tegal, Selasa malam (12/7). Syair-syair dari kumpulan puisinya "Bila Cinta Tak Sampai" yang dia sajikan bersama tim teater Kail dari Jakarta itu banyak bercerita tentang bencana tsunami. Dia bersama Sutarno SK dan Hendra Juniardi membawa penonton seolah-olah berada di lokasi bencana itu. Nuansa melayu itu tercermin dalam syair Nani Tandjung yang bercerita banyak tentang gempa yang melanda Aceh, Nias dan Sumatera Utara. Di antaranya tersirat dalam puisi berjudul "Love Underasure", "Talibun Tsunami" serta "Ekor Naga Itu Mengibas". Dalam syair berjudul "Ekor Naga Itu Mengibas" ia sebutkan, "Kemarin, Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.00, rupanya dua naga masih bertubrukan, Saling tindih menindih, Saling dorong mendorong penuh kekuatan......". Penampilan Nani Tandjung ketika membawakan puisinya bisa dikatakan mengesankan. Pilihan bahasa yang lugas membuat penonton bisa menangkap pesan lebih cepat. "Saya menciptakan puisi yang dapat diceritakan," papar dia usai pementasan. Memang ketika dia membaca puisi, penonton menangkap kesan seolah-olah Nani sedang bercerita. Kumpulan puisi yang terdiri atas 86 judul tersebut, kata Nani Tandjung, digarapnya sehari setelah bencana tsunami melanda, dengan karya pertama "Love Underasure". Perempuan yang lahir di Sibolga, 26 Agustus 1950 itu menggelar pembacaan puisi dalam rangka tur keliling ke beberapa kota. Tur itu dimulai sejak 5 Juli dan kota yang sudah dikunjungi di antaranya Solo dan Yogyakarta. "Kunjungan kami jadwalkan sampai September 2005 ke beberapa kota, antara lain Malang, Surabaya, dan Jember. Semantara itu kota lain arah barat yang disinggahi di antaranya Bandung dan Rangkas Belitung," ujar dia. Mengenai proses berkesenian, ibu empat anak itu mengaku menggelutinya sejak masih duduk di bangku SD. "Saya ikut kegiatan tari pada waktu SD, jadi saya merasa sudah berkesenian sejak itu." Nani Tandjung yang lebih dikenal sebagai pekerja teater itu juga mengaku pernah menjadi guru TK. Namun aktivitas sebagai guru tersebut sudah ditinggalkan karena dia ingin lebih eksis dalam kesenian. Sebagai seniman, sosok ini peka terhadap kondisi masyarakat. Karena itu, tema puisinya banyak mengangkat apa-apa yang sedang dialami masyarakat, seperti narkoba dan nami. Itu dia lakukan karena tersentuh dan ingin berbuat sesuatu dengan cara yang dia kuasai, yakni berpuisi. Selain itu, bagi dirinya media puisi adalah ajang pembentukan budaya. Karena itu, dia merasa menyesal karena kini telah terjadi pergeseran budaya. Dia pun menuangkan perasaannya itu dalam "Hantu 1" yang berbunyi "padahal kita semua hantu".(Siti Kholidah-52m) |
5 Tahun Gempa Stunami: Renungan “ Bila Cinta Tak Sampai” |
Written by admin | |
(Jombang, MADINA): Dunia sastra, teater, seniman, dan puisi pasti mengenal siapa Nani Tandjung. Seorang tokoh sastra, seniman, monolog, sekaligus pimpinan Teater Kail Jakarta. Jumat, pekan lalu, Nani Tandjung, seorang sosok wanita tegar kelahiran Sibolga, 26 Agustus 1950 di Roshberry Café, Jombang, Jawa Timur. Membacakan syair-syair dari kumpulan puisi karyanya berjudul “Bila Cinta Tak Sampai”. Syair-syair Nani Tandjung tersebut bercerita tentang gempa yang melanda Aceh, Nias dan Sumatera Utara, lima tahun silam 26 Desember 2004. Kumpulan puisi yang terdiri atas 86 judul tersebut sengaja digarapnya sehari setelah bencana tsunami Aceh. Acara yang disponsori Roshberry Donuts & Coffee itu dikemas dalam diskusi sastra, puisi, dan doa bersama mengenang peristiwa bencana alam terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sekitar satu jam, Nani Tandjung membacakan puisi karyanya di hadapan para hadirin, kemudian dilanjutkan dialog. Dengan komunikasi puisi yang intens itu lewat bahasa yang lugas dan tegas, tentulah membakar jiwa, dan sekaligus menyentuh hati. Di sisi lain, acara ini juga diharap dapat membangunkan jiwa para penikmat sastra di Jombang khususnya, dan umumnya di Indonesia, untuk terbawa pada kejadian sesungguhnya. Banyak pesan moral disampaikan dan nilai-nilai filsafat rejius. Dalam syair berjudul "Ekor Naga Itu Mengibas", disebutkan: "Kemarin, Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.00, rupanya dua naga masih bertubrukan, Saling tindih menindih, Saling dorong mendorong penuh kekuatan......". Dalam acara itu di sesi dialog, Nani Tandjung menjelaskan bahwa kejadian dasyat yang mengguncang Aceh tersebut, sebenarnya sebagai wujud kecintaan Tuhan terhadap rakyat Aceh. Nani Tandjung merupakan seorang seniman yang sangat peka terhadap persoalan masyarakat saat ini. Sehingga tema puisinya juga banyak mengangkat persoalan social masyarakat yang tak kunjung terselesaikan. Hatinya tersentuh, semangatnya membakar, mengingatkan kepada kekuasaan melalui berpuisi. Diakhir acara, Nani Tandjung mengapresiasi kegiatan yang diusung Roshberry. Menurutnya, Roshberry café layak sebagai bagian dari café budaya. Beliau juga memberikan pesan moral untuk senantiasa menjaga budaya dan kearifan local. Nani Tandjung sangat mendukung, sebaiknya Roshberry Café menjadi katalisator lahirnya pemuda pelestari budaya local, melaluidiskusi sastra dan budaya, sampai seni pertunjukan. (ros/kir) Jombang 26 Desember 2009 |
Terkisah Nenek ingin menjenguk cucu. Nenek berdiri mananti bis antar kota yang liwat. Dari jauh Nenek sudah melihat bis yang dinanti. Nenek sudah mengacungkan tangan berharap bis berhenti. Dari jauhpun Supir telah melihat tanda itu, lalu dia menginjak rem, bis berhenti perlahan. Namun, bis masih berjalan meski pelan, dan berhenti agak jauh dari tempat Nenek berdiri. Terpaksa nenek berlari dengan kerentaannya, membawa 'gembolan' oleh-oleh buat cucu.
Sampai di pintu bis, Kondektur berteriak : "Tunggu, tunggu, nenek-nenek, ayo nek, cepat, loncat, hup hup hup!
Nenek berusaha melompat ke atas bis yang segera berjalan lagi dengan kencang sebelum nenek siap berdiri tegak untuk menuju bangku. Nenek : "Uh! Aku seperti seorang prajurit muda yang tangkas! Uh! Negeri ini keras sekali! Uh! Penuh! Uh! Tak ada yang memberi tempat duduk buat seorang wanita, yang tua, biarlah aku duduk di bawah, oh demi cinta pada cucunda...
Salam, jangan tidur! kita sudah lama terlena dalam dongeng!