5 Tahun Gempa Stunami: Renungan “ Bila Cinta Tak Sampai” |
Written by admin | |
(Jombang, MADINA): Dunia sastra, teater, seniman, dan puisi pasti mengenal siapa Nani Tandjung. Seorang tokoh sastra, seniman, monolog, sekaligus pimpinan Teater Kail Jakarta. Jumat, pekan lalu, Nani Tandjung, seorang sosok wanita tegar kelahiran Sibolga, 26 Agustus 1950 di Roshberry Café, Jombang, Jawa Timur. Membacakan syair-syair dari kumpulan puisi karyanya berjudul “Bila Cinta Tak Sampai”. Syair-syair Nani Tandjung tersebut bercerita tentang gempa yang melanda Aceh, Nias dan Sumatera Utara, lima tahun silam 26 Desember 2004. Kumpulan puisi yang terdiri atas 86 judul tersebut sengaja digarapnya sehari setelah bencana tsunami Aceh. Acara yang disponsori Roshberry Donuts & Coffee itu dikemas dalam diskusi sastra, puisi, dan doa bersama mengenang peristiwa bencana alam terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sekitar satu jam, Nani Tandjung membacakan puisi karyanya di hadapan para hadirin, kemudian dilanjutkan dialog. Dengan komunikasi puisi yang intens itu lewat bahasa yang lugas dan tegas, tentulah membakar jiwa, dan sekaligus menyentuh hati. Di sisi lain, acara ini juga diharap dapat membangunkan jiwa para penikmat sastra di Jombang khususnya, dan umumnya di Indonesia, untuk terbawa pada kejadian sesungguhnya. Banyak pesan moral disampaikan dan nilai-nilai filsafat rejius. Dalam syair berjudul "Ekor Naga Itu Mengibas", disebutkan: "Kemarin, Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.00, rupanya dua naga masih bertubrukan, Saling tindih menindih, Saling dorong mendorong penuh kekuatan......". Dalam acara itu di sesi dialog, Nani Tandjung menjelaskan bahwa kejadian dasyat yang mengguncang Aceh tersebut, sebenarnya sebagai wujud kecintaan Tuhan terhadap rakyat Aceh. Nani Tandjung merupakan seorang seniman yang sangat peka terhadap persoalan masyarakat saat ini. Sehingga tema puisinya juga banyak mengangkat persoalan social masyarakat yang tak kunjung terselesaikan. Hatinya tersentuh, semangatnya membakar, mengingatkan kepada kekuasaan melalui berpuisi. Diakhir acara, Nani Tandjung mengapresiasi kegiatan yang diusung Roshberry. Menurutnya, Roshberry café layak sebagai bagian dari café budaya. Beliau juga memberikan pesan moral untuk senantiasa menjaga budaya dan kearifan local. Nani Tandjung sangat mendukung, sebaiknya Roshberry Café menjadi katalisator lahirnya pemuda pelestari budaya local, melaluidiskusi sastra dan budaya, sampai seni pertunjukan. (ros/kir) Jombang 26 Desember 2009 |
No comments:
Post a Comment